RINGKASAN
NUR
RAHMAAN, ADHELIYA SETYORINI, VERAWATI. Keragaman Kelelawar di Hutan Pendidikan
Gunung Walat.Dibimbing oleh Dr. BAMBANG SURYOBROTO.
Kelelawar merupakan mamalia yang dapat terbang yang termasuk
ordo Chiroptera.Hewan ini merupakan satu-satunya mamalia yang dapat terbang
dengan menggunakan sayap.Hewan ini bersifat nokturnal karena aktif mencari
makan dan terbang hanya pada waktu malam hari, sehingga kelelawar memerlukan
tempat bertengger (roosting area) dan
tidur dengan bergelantung terbalik pada siang hari.Kelelawar
dibagi ke dalam dua sub ordo yaitu Megachiroptera atau kelelawar pemakan buah
dan Microchiroptera atau kelelawar pemakan serangga. Megachiroptera umumnya
terbang dengan mengandalkan penglihatannya sedangkan Microchiroptera lebih
mengandalkan ekolokasi dengan memantulkan gelombang ultrasonik untuk terbang
dan mencari mangsanya.
Penelitian
ini bertujuan mengamati keanekaragaman kelelawar di Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat.Kelelawar yang tertangkap
selama penelitian memiliki variasi bentuk dan ukuran tubuh.Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa kelelawar dari sub ordo Megachiroptera,
yaitu
Famili Pteropodidae memiliki jumlah individu yang paling banyak tertangkap.
Jenis kelelawar Megachiroptera yang tertangkap adalah Cynopterus brachyotis (Codot Krawar)dan Rousettus
sp. Sedangkan, kelelawar Microchiroptera yang tertangkap adalah Rhinolopus pussillus (Prok-bruk kecil), Rhinolophus affinis (Prok-bruk hutan), dan Hipposideros larvatus (Barong horsfield). Jenis
kelelawar C. brachyotis merupakan jenis yang paling banyak ditemukan
pada habitat yang diamati.Suhu
sekitar lokasi perangkap adalah 220C dan kelembaban berkisar antara
92%-100%.Penggunaan perangkap harpa untuk menangkap kelelawar
menghasilkan jumlah tangkapan yang lebih rendah dibanding dengan perangkap
jaring kabut (mist net).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelelawar merupakan anggota mamalia yang mampu
terbang secara sempurna dengan menggunakan sayap (Hill dan Smith
1984).Kelelawar memiliki kontribusi sampai setengah dari jenis mamalia hutan
(Meijaard et al. 2006). Ordo Chiroptera meliputi 18 famili, 192 marga
dan 977 jenis, jumlah ini merupakan jumlah jenis mamalia terbanyak setelah
mamalia pengerat (Rodentia) (Corbet dan Hill 1992). Indonesia memiliki sekitar
205 jenis kelelawar atau sebanyak 21% dari total jenis kelelawar di dunia,
sembilan famili dari jenis-jenis ini termasuk dalam 52 marga. Kesembilan famili
ini adalah Pteropodidae, Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae,
Rhinolophidae, Hipposideridae, Emballonuridae, Rhinopomatidae, dan Molossidae
(Suyanto 2011).
Berdasarkan jenis
makanannya, kelelawar di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok besar,
yaitu anak bangsa Megachiroptera yang memakan tumbuhan dan anak bangsa
Microchiroptera yang memakan serangga.Umumnya kelelawar pemakan tumbuhan
menggunakan mata untuk mengenali benda-benda di sekitarnya (kecuali Rousettus), sedangkan pemakan serangga
menggunakan telinga (ekholokasi) untuk memandu arah gerakannya. Di antara
kelelawar pemakan tumbuhan, ada yang khusus memakan nektar dan serbuk sari (Eonycteris, Macroglossus, Syconycteris)
danada juga yang memakan buah, dedaunan, nektar, dan serbuk sari (Codot krawar = Cynopterus
brachyotis), buah-buahan lunak, nektar, dan serbuk sari (Rousettusdan Boneia), dan ada pula yang memakan buah-buahan dan bunga (hampir
semua kelelawar pemakan buah yang berukuran besar) (Suyanto 2001).
Kelelawar umumnya tinggal di hutan yaitu menggantung
pada pohon-pohon besar, menggantung pada dinding-dinding gua, atap bangunan,
pohon-pohon yang berlubang, pohon-pohon besar bekas tebangan, kayu mati, pohon
kelapa, dan pohon pisang.Keberadaan pohon sangat penting artinya dalam
kehidupan kelelawar.Selain sebagai tempat hidup, pohon penghasil buah-buahan
diperlukan sebagai sumber makanan bagi kelelawar pemakan buah.Demikian pula,
pohon-pohon yang menjadi tempat hidup serangga juga sangat berarti bagi
kelelawar pemakan serangga (Prasetyo et
al. 2011).Kunz dan Pierson (1994) menjelaskan bahwa kelelawar merupakan mamalia paling berhasil, karena dapat
ditemukan di berbagai tipe habitat dengan ketinggian mulai 10 m dpl sampai 3000
m dpl.
Winkelmann et al.(2000) meneliti penggunaan
habitat oleh kelelawar Synconycteris australis di Papua New Guinea.
Menurut Winkelmann et al. (2000) faktor-faktor yang dapatmempengaruhi
keberadaan dan kelimpahan kelelawar pada suatu habitat ialah 1) struktur fisik
habitat, 2) iklim mikro habitat, 3) ketersediaan pakan dan sumber air, 4)
keamanan dari predator, 5) kompetisi, dan 6) ketersediaan sarang. Keberadaan
kelelawar sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Indonesia karena
peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan (jambu air, jambu biji, kenari,
keluwih, sawo, namnaman, duwet, dan cendana); sebagai penyerbuk bunga tumbuhan
bernilai ekonomi (petai, durian, bakau, dan kapuk randu); sebagai pengendali
hama serangga, penghasil pupuk guano dan tambang fosfat di gua-gua; sebagai
obyek ekowisata. Namun, kelelawar juga dikenal sebagai penular penyakit
tertentu (histoplasmosis, leptospirosis, salmonellosis, dan rabies) terutama
bagi mereka yang bekerja di gua-gua atau sekitarnya (Prasetyo et al. 2011).
Kawasan hutan Gunung Walat merupakan hutan
pendidikan seluas 359 Ha yang terletak di Kabupaten Sukabumi. Hutan Pendidikan Gunung
Walat dibagi ke dalam 3 blok yaitu: Blok Cikatomas (120 Ha) terletak di bagian
Timur, blok Cimenyan (125 Ha) terletak di bagian Barat dan Blok Tengkalak/
Seusepan (114 Ha) di bagian Tengah dan Selatan.Kelelawar merupakan salah satu
fauna yang dapat ditemukan di kawasan HPGW. Kelelawar memiliki peranan yang
penting bagi kawasan HPGW maupun lingkungan sekitarnya, yaitu berperan dalam
proses penyerbukan dan pemencaran biji tumbuhan sehingga turut berperan dalam
menjaga kelestarian ekosistem kawasan (Siagian 2011).
Tujuan
Mengamati keanekaragaman kelelawar di Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat.
BAHAN DAN METODE
Pengamatan dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung
Walat pada tanggal 24 – 26 Juni 2014. Alat-alat yang digunakan untuk pengamatan
antara lain perangkap kelelawar yang berupa mist
net (jaring kabut), perangkap harpa, gunting, pisau, kantung blacu ukuran
25 cm x 35 cm untuk kantung spesimen, sarung tangan wol, sarung tangan karet,
masker, senter kepala (headlamp),
termometer bola kering-bola basah, baki ukuran sedang, dan kamera digital.
Bahan yang digunakan adalah kapas, dan kloroform untuk membius kelelawar.
Kegiatan penangkapan kelelawar dilakukan dengan
menggunakan perangkap harpa (harp trap) dan jaring kabut (mist net).Harptrap
yang digunakan terdiri dari empat lapis senar tali pancing (four-bank
harptrap), perangkap ini digunakan terutama untuk menangkap kelelawar yang
mencari makan pada bagian strata bawah (understorey) hutan.Kaki harptrap
dipasang setinggi kurang lebih 1 meter di atas permukaan tanah dan
dikondisikan berada di antara pohon-pohon dan vegetasi bawah yang dapat
memfokuskan kelelawar untuk terbang melalui harptrap. Perangkap harpa cocok
untuk mengecoh kelelawar dari kelompok sub Bangsa Microchiroptera yang memiliki
kemampuan mengenali lingkungan dengan mengandalkan pantulan sonar ekolokasi.
Jaring kabut dipasang sepanjang jalur lokasi
pengambilan data, yaitu pada daerah yang diduga menjadi lintasan kelelawar
seperti tepi hutan atau pintu hutan, melintang sungai, perbukitan dan daerah
terbuka. Pemasangan jaring dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktor
antara lain: jalur setapak atau dekat pohon yang sedang berbuah dan berbunga
dengan memperhatikan tutupan kanopi, di atas sungai atau daerah ekoton. Jaring
kabut dipasang sore hari sebelum matahari terbenam, untuk menghindari supaya
tidak ada burung yang terperangkap dan kelelawar tidak bisa mendeteksi adanya
jarring kabut yang dipasang. Jaring kabut ini untuk menangkap kelelawar dari
kelompok sub Bangsa Megachiroptera.
Perangkap dipasang pada sore hari sekitar pukul
16.00 WIB.Pemeriksaan hasil pemerangkapan dilakukan pada tanggal 25 dan 26
juni, yakni pada setiap pukul 08.00 WIB.Individu kelelawar yang tertangkap dilepaskan
dari perangkap secara hati-hati agar tidak mengakibatkan kematian.Individu
tersebut selanjutnya dicatat jenis dan jumlah individu setiap jenis yang
tertangkap.Identifikasi terhadap jenis dilakukan dengan menggunakan buku
panduan identifikasi kelelawar.
Pengukuran suhu dan
kelembaban relatif di daerah sekitar perangkap dilakukan pada pukul 18.00-19.00
dengan menggunakan psychrometer
bola kering-bolabasah.Cara penggunaannya dengan meletakkan di tempat
yang akan diukur kelembabannya. Psychrometer ini terdiri dari dua buah termometer air raksa,
yaitu termometer bola kering dimana tabung air raksa dibiarkan kering sehingga
akan mengukur suhu udara sebenarnya, dan termometer bola basah dimana tabung
air raksa dibasahi agar suhu yang terukur adalah suhu saturasi/ titik
jenuh, yaitu suhu yang diperlukan agar uap air dapat berkondensasi.Suhu udara
didapat dari suhu pada termometer bola kering, sedangkan RH (kelembaban udara)
didapat dengan perhitungan selisih suhu bola kering dan bola
basah.
Hasil
Dapat anda download disinin : Laporan Studi Lapang Keragaman Kelelawar Di Hutan Pendidikan Gunung Walat
Pembahasan
Kelelawar merupakan
satu-satunya mamalia yang bisa terbang menggunakan sayap, termasuk ke dalam
ordo Chiroptera. Kelelawar bersifat nokturnal atau aktif pada malam hari, siang
harinya kelelawar akan bertengger di dahan pohon, dedaunan atau dapat dijumpai
di gua. Kelelawar dibagi ke dalam dua subordo yaitu Megachiroptera atau
kelelawar pemakan buah dan Microchiroptera atau kelelawar pemakan serangga.
Keduanya memiliki struktur dan ciri khas khusus yang disesuaikan dengan
makanannya.Megachiroptera mempunyai ciri ukurannya lebih besar, mata besar,
terbang lebih tinggi, dan pemakan buah-buahan.Microchiroptera mempunyai ciri
ukurannya relatif kecil, mata kecil, terbang tidak terlalu tinggi, pada telinga terdapat struktur untuk mengeluarkan
sonar.Megachiroptera umumnya terbang dengan mengandalkan penglihatannya
sedangkanMicrochiroptera lebih mengandalkan ekolokasi dengan memantulkan
gelombang ultrasonik untuk terbang dan mencari mangsanya (Fenton
1990).
Perangkap
harpa (harp trap)
umumnya digunakan untuk menangkap kelelawar Microchiroptera.
Sedangkanjaring kabut (mist net) umumnya digunakan untuk menangkap kelelawar Megachiroptera.Kelelawar yang tertangkap selama penelitian
memiliki variasi bentuk dan ukuran tubuh.Setiap jenis memiliki karakter
morfologi masing-masing, bahkan satu jenis kelelawar dapat memiliki variasi
yang berbeda.Morfologi kelelawar dapat ditinjau secara kualitatif maupun
kuantitatif.Morfologi kelelawar apabila ditinjau secara kualitatif dapat
dilihat dari perbedaan struktur wajah terutama noseleaf, terdapatnya
tragus atau anti tragus, warna rambut dan ada atau tidaknya cakar pada jari
sayap kedua.Selain itu, morfologi kelelawar juga dapat dilihat
dari beberapa bagian tubuh, yaitu forearm, tibia, telinga dan bobot
tubuh.
Pengamatan hari pertama
mendapatkan hasil yaitu terdapat kelelawar pemakan buah (Megachiroptera)
terjebak dalam mistnet pada lokasi M1. Kelelawar yang ditemukan yaitu Cynopterus
brachyotis dan Rousettus sp.Cynopterusbrachyotis
yang memiliki nama lokal codot krawar memiliki ciri yaitu permukaan
tubuhnya berwarna coklat sampai coklat kekuningan dengan kerah jingga tua lebih
terang pada jantan dewasa, kekuningan pada betina. Anakan berwarna lebih
abu-abu dengan kerah tidak jelas.Tulang-tulang pada tepi sayap bertepi
putih.Spesies ini memiliki dua pasang gigi seri bawah.Kelelawar ini biasanya
ditemukan bertengger secara berkelompok kecil pada pepohonan, di bawah dedaunan
atau di gua-gua yang cukup terang.Makanannya berupa buah-buahan, namun
terkadang memakan nektar dan tepung sari.Kelelawar kedua yang ditemukan
pada hari pertama yaitu dari marga Rousettus. Kelelawar
ini memiliki ciri-ciri gigi geraham atas kecil yang berjumlah lima buah, gigi
seri pada ujungnya terbelah dua, moncong panjang, dan rambut sangat pendek
kecuali tengkuk dimana rambut tumbuh lebih panjang seperti jumbai. Kelelawar
ini memiliki warna permukaan atas tubuh kecoklatan dan permukaan bawah tubuh
berwarna coklat muda.
Pengamatan hari kedua mendapatkan hasil
kelelawar pemakan serangga (Microchiroptera) terjebak dalam perangkat
harpa.Kelelawar tersebut yaitu Rhinolopus
pussillus (Prok-bruk kecil), Rhinolophus affinis (Prok-bruk hutan),
dan Hipposideros larvatus (Barong
horsfield) yang masing-masing memiliki morfologi yang berbeda.Rhinolopus pussillusmemiliki ciribagian atas badan
berwarna coklat keabuan dan bagian bawah berwarna lebih pucat, noseleaf
berwarna gelap dan tidak memiliki lateral lappet, dan connecting
process berbentuk meruncing.SedangkanRhinolophus affinismemiliki ciribagian atas badan berwarna
coklat gelap hingga coklat kemerahan dengan ujung rambut yang lebih gelap,
bagian bawah badan berwarna lebih pucat, noseleaf tidak memiliki lateral
lappet, connectingprocess membulat, dan Sella berbentuk
konkaf. Terakhir Hipposideros
larvatusmemiliki ciribagian
atas badan berwarna coklat hingga coklat kehitaman, bagian bawah badan berwarna
lebih pucat, membran sayap berwarna coklat, noseleaf dan tiga lateral
leaflet berwarna pink dengan ujung kecoklatan, bagian anterior noseleaf berukuran cukup besar, dan telinga
berbentuk triangular.
Famili Pteropodidae
memiliki jumlah individu yang paling banyak tertangkap, yakni sebanyak 6 ekor dan terendah adalah Hipposideridae
sebanyak 1ekor.Jenis
kelelawar Megachiroptera memiliki wilayah jelajah yang lebih besar dibandingkan
dengan jenis Microchiroptera.Selain itu, jenis kelelawar Megachiroptera
memiliki kebiasaan tinggal pada satu pohon yang berdekatan dengan pohon yang
sedang berbuah selama 1-5 hari. Jenis kelelawar Microchiroptera mencari pakan pada
areal dengan luasan yang relatif sempit, yakni sekitar 400 m2,
melakukan terbang singkat selama dua menit untuk menangkap serangga, dan
kembali lagi ke tempat semula untuk mengamati daerah sekitarnya (Neuweiler et
al. 1987).
Jenis kelelawarCynopterus brachyotis
merupakan jenis yang paling banyak ditemukan pada habitat yang diamati, yaitu
sebanyak 5 ekor. Kelelawar Cynopterus
brachyotis mulai beraktivitas satu jam setelah matahari
terbenam dengan luas wilayah jelajah mencapai 3 km. Tan et al. (1998) menyatakan
bahwaCynopterus
brachyotis merupakan jenis kelelawar pemakan buah yang umum
dijumpai di Asia Tenggara. Jenis ini menempati berbagai tipe habitat meliputi
hutan primer, hutan bekas terbakar, hutan bakau, daerah budidaya, kebun buah,
dan daerah perkotaan.Kemampuan yang baik untuk beradaptasi dengan lingkungan
menjadi salah satu faktor kunci jenis ini banyak ditemukan.
Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa kelelawar pemakan serangga lebih sedikit ditemukan
dibandingkan kelelawar pemakan buah.Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi
lingkungan yang kurang sesuai, dimana pada saat itu curah hujan dan kelembapan
sangat tinggi.Grindal et al. (1992) menyatakan bahwa iklim memiliki
pengaruh yang besar terhadap pasokan makanan bagi kelelawar pemakan serangga
karena kepadatan udara yang menjadi wahana pergerakan serangga tergantung pada
suhu lingkungan dan curah hujan.Saat suhu mengalami penurunan setelah matahari
terbenam maka jumlah serangga yang terbang semakin berkurang sehingga pasokan
makanan yang tersedia untuk kelelawar insektivora semakin sedikit. Pada kondisi
hujan maka aktivitas sebagian besar jenis kelelawar akan berhenti karena
terjadi hambatan dalam manuver terbang(Parnaby 1999).
Neuweiler et al. (1987) menyatakan bahwa kelelawar insektivora akan beraktivitas untuk mencari makan pada periode 30-60 menit setelah
matahari terbenam. Periode selanjutnya, yakni 60-120 menit setelah matahari
terbenam, kelelawar akan kembali untuk beristirahat, dan periode selanjutnya
adalah aktivitas mencari makan.
Kelelawar yang tertangkap didominasi oleh kelelawar betina (80%),
sedangkan jantan yang tertangkap adalah sebanyak 20%.Penggunaan
perangkap harpa untuk menangkap kelelawar menghasilkan jumlah tangkapan yang
lebih rendah dibanding dengan perangkap jaring kabut.Hal ini diduga karena
perangkap harpa kurang sesuai jika digunakan pada habitat yang terbuka yang
mengakibatkan tingkat efisiensinya menjadi rendah. Efisiensi perangkap harpa
akan bernilai tinggi jika diletakan pada pintu masuk tempat bertengger serta
jalur-jalur terbang kelelawar. Habitat yang tidak berlorong dan berpohon
mengakibatkan jumlah individu yang tertangkap lebih rendah dibandingkan habitat
lainnya. Perangkap harpa akan berfungsi dengan baik pada lokasi kebun
dikarenakan habitat kebun lebih mendukung untuk penempatan perangkap bagi
kelelawar yang terbang meyusuri lorong-lorong atau aliran sungai.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan
hasil pengamatan keragaman kelelawar di Hutan Pendidikan Gunung Walat, dapat
disimpulkan bahwa kelelawar yang tertangkap selama penelitian
memiliki variasi bentuk dan ukuran tubuh.Setiap jenis memiliki karakter
morfologi masing-masing, bahkan satu jenis kelelawar dapat memiliki variasi
yang berbeda. Kelelawar yang ditemukan selama pengamatan ada 5 jenis, yaitu Cynopterus
brachyotis, Rousettus sp. (Famili Pteropodidae), Rhinolopus pussillus,Rhinolophus
affinis (Famili Rhinolophidae), dan Hipposideros larvatus(Famili Hipposideridae). Kelelawar
yang tertangkap didominasi oleh kelelawar betina (80%), sedangkan jantan yang
tertangkap adalah sebanyak 20% dengan suhu sekitar lokasi perangkap adalah 220C dan kelembaban
berkisar antara 92%-100%.
Saran
untuk studi lapangan tahun depan diharapkan panitia dapat menyediakan waktu
yang lebih lama sehingga lebih banyak pengamatan yang dapat dilakukan pada jam
yang bervariasi. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai
keanekaragaman kelelawar yang dilaksanakan bukan pada musim penghujan, dan perlu
adanya penambahan alat terkait penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Corbet GB, Hill JE.
1992. The Mammals of the Indomalayan Region: A Systematic Review. New
York (US): Oxford Univ. Press.
Fenton MB. 1990. The
foraging behavior and ecology of animal eating bats. Canadian Journal of
Zoology 68:411–422.
Grindal SD, Collard TS,
Bringham RM, Barclay RMR. 1992. The influence of precipitation on reproduction
by Myotis bats in British Columbia. American Midland Naturalist 128(2):339-344.
Hill JE, Smith
JD. 1984. Bats, a Natural History. Austin (US): Univ. of Texas Press.
Kunz TH, Pierson ED.
1994. Bats of the World.An Introduction.Dalam :Walker’s Bats of the World.The
John Hopkins University Press. Baltimore and London
Meijaard E, Sheil D,
Nasi R, Augeri D, Rosenbaum B, Iskandar D, Setyawati T, Lammertink M,
Rachmatika I, Wong A.2006. Hutan PascaPemanenan: Melindungi Satwa Liar dalam
Kegiatan Hutan Produksi diKalimantan. Bogor (ID): CIFOR.
Neuweiler G, Metzner W,
Heilmann U, Riibsamen R, Eckrich M, Costa HH. 1987. Foraging behaviour and
echolocation in the rufous horseshoe bat (R. rouxi). Behavioral
Ecology and Sociobiology 20:53-67.
Parnaby
H. 1999. An Interim Guide to Identification of Insectivorous Bats of
South-eastern Australia. Sydney (AU): RodenPrint Pty Ltd.
Prasetyo PN, Noerfahmy S, Tata HL. 2011.
Jenis-jenis Kelelawar Agroforest Sumatera.
Bogor (ID): World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office.
Siagian RAP. 2011.
Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan
Hutan Batang Toru, Sumatera Utara [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Suyanto A. 2001. Seri
Panduan Lapangan: Kelelawar di Indonesia. Bogor (ID): Puslitbang
Biologi-LIPI.
Tan KH, Zubaid A, Kunz
TH. 1998. Food habits of C. brachyotis (Muller) (Chiroptera:
Pteropodidae) in Peninsular Malaysia. Journal of Tropical Ecology 14:299-307.
Winkelmann JR,
Bonaccorso FJ, Strickler TL. 2000. Home range of southern blossom bat, Syconycteris
australis in Papua New Guinea. TropicalBiology 66: 126-132.
0 Response to "Laporan Studi Lapang Keragaman Kelelawar Di Hutan Pendidikan Gunung Walat"
Post a Comment